Monday, July 1, 2013

MULIA dalam KEJUJURAN

Ini adalah tulisan HAEDAR NASHIR, dalam kolom Refleksi diharian Republika tanggal 23 Juni 2013, saya tertarik 'tuk menuangkan dalam blog ini karena saya termasuk yang menjunjung KEJUJURAN, dan berusaha untuk melakoni hidup ini sampai maut menjemput dengan cara yang jujur, bukankah menipu diri sendiri pun tak semudah yang Kita bayangan, akan terus dikejar bayang-bayang, dan KEJUJURAN adalah paspor untuk meniti HIDUP dan KEHIDUPAN agar bisa istiQamah dijalan-NYA, nah ! inilah selengkapnya tulisan tersebut, " Aku bukan Malaikat " kata si Fulan penuh nada yakin. Memang, siapa bilang engkau mahluk Allah yang sangat patuh dan bersih dari dosa ? Kita manusia biasa. Sejauh tak ada percikan niat ingin menjadi pendosa dan bersahabat dengan syaitan, mengapa mesti galau ? Manusia, siapa pun bisa salah dan khilaf. Manusia menjadi manusiawi karena dalam dirinya ada ruang untuk keliru. Adam sang khalifah, fil-ardh dan istrinya Hawa mengalami tahbith, dikeluarkan dari surga karena memakan buah khuldi. Keduanya menjalani hidup didunia sebagai manusia biasa. Adam alaihissalam (AS) kemudia diberi tugas mulia sebagai nabi penyebar risalah pertama dimuka bumi. Masalahnya, tidak sedikit manusia berpakaian angkuh ketika salah. Alih-alih jujur akan kekhilafan lalu memperbaiki diri ke jalan benar dan berlari kencang menuju ampunan Tuhan, malah sibuk mencari kambing hitam. Diri seolah tetap bersih dan tak merasa berada dipersimpangan jalan buntu. Isyarat tubuh pun masih tampak pongah dalam keperkasaan semu. Jauh dari sikap tawadhu (rendah hati). Ketika salah dan berbelokarah dari idealisme awal, masih pula merasa lurus. Tak ada rona sesal untuk bermuhasabah diri. Keangkuhan itulah yang menjadikan anak cucu Adam tersandera dalam sangkar besi kesalahan, lalu menjadi cibiran nyinyir khalayak publik. Muslim yang autentik berani jujur meski ketika salah. Ibda binafsika, orang jujur akan selalu berkonsultasi kepada hatinya. Pihak lain akan mudah dikelabui 1001 cara, tetapi manakala diri salah maka nurani tak pernah dusta. Kejujuran itu mahal. Kejujuran merupaka mutiara paling berharga yang membuat siapa pun dihargai dan dipercaya. Tuhan mencintai orang yang berhati jujur, berkata dan berbuat jujur. Muhammad di usia muda sebelum diangkat menjadi Nabi memperoleh tempat mulia dihati bangsa Arab karena kejujurannya. Dia bahkan digelari al-Amin, sang terpercaya. Bangsa kafir dan jahiliyah sekalipun masih menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran Kejujuran itu universal. Dibelahan dunia mana pun sejauh hati masih bicara, pasti mencintai kejujuran . Pesepakbola ternama dari negeri Samba, Neymar juga mencintai kejujuran " Saya orang Brasil dan Saya mencintai negara saya. Saya ingin Brasil yang lebih aman, lebih sehat, dan lebih jujur. " tulis Neymar diakun facebook-nya ketika mereaksi maraknya demonstrasi di negerinya beberapa saat sebelum kick off pertandingan Piala Konfederasi 2013 melawan Meksiko. Bagi orang Islam kejujuran harus menjadi bagian utuh dari kemusliman. Kisah Imam Al-Bukhari tatkala melacak keberadaan sebuah hadis sungguh penting dijadikan mutiara kehidupan. Suatu kali periwayat hadis ternama itu pergi menelusuri kebenaran sebuah hadis dari seseorang. Ia melihat orang yang dicarinya sedang mengejar kudanya yang terlepas. Untuk menangkap kudanya orang itu menunjukkan bungkusan seolah didalamnya ada gandum. Kuda terkecoh dan akhirnya ditangkap kembali. Al-Bukhari bertanya kepada sipemilik kuda, " Apakah engkau sertakan gandum dalam bungkusan itu ? ", Orang itu menjawab, " Tidak, aku hanya mengelabui kudaku agar mudah kutangkap. Imam Bukhari dengan tegas berkata, " Kalau begitu, aku tidak akan mencari hadis dari orang yang bohong terhadap hewan. " . Dusta dan bersiasat kepada hewan saja tercela, apalgi terhadap sesama manusia. Kisah Al-Bukhari menurut Jabir al-Jazairi merupakan contoh agung tentang hakikat kejujuran atau kebenaran. Kejujuran merupakan nilai, sikap dan tindakan paling utama, lebih dari segalanya. Hidup jujur itu mulia, sedangkan dusta itu hina. Lawan jujur adalah kicuh, yakni dusta dan suka mengelabui. Dalam hadis disebuh nifaQ. Yakn, jika bicara atau memberi pernyataan berbohong, manakala berjanji tidak ditepati, dan bila diberi amanat berkhianat. Barang halal dan dan baik dicampuadukkan dengan yang haram dan subhat. Lain dikata lain pula tindakan. Jargon dan tindakan, lahir tampak indah demi rakyat, tetapi motif dan tujuan penuh siasat bulus. Kicuh perilaku yang antagonis seperti itulah musuh kejujuran dan kebenaran sekaligus perangai yang dibenci Tuhan (QS ash Shaff (61) : 4). Perilaku kicuh sering membuat pelaku bebal diri. Bertipu muslihat dianggap lumrah dan bukan dosa. Boleh jadi perbuatan muslihat bagi sementara orang dipandang sebagai cara hidup demi meraih tujuan. Dusta menjadi perilaku berjamaah yang didukung para pengikut setia. Ukuran moral dinisbikandemi siasat, yang penting nilai guna dan kemenangan. Hati nan jernih(Qalbu salim) akhirnya menjadi mati rasa. Agamapun tak sungkan dijadikanalat mengicuh dalam aroma sakral. Insan beriman pun bisa roboh ketangguhan akidahnya. Keimanan hanya gemerlap dari luar, tetapi kering didalam karena tingginya hasrat menguasai dunia melampaui takaran. Tatkala perjuangan hidup masih merayap senyap, kejujuran dan nilai-nilai luhur masih dapat dirawat dengan baik. Setelah roda kehidupan berputar keatas , api kejujuran dan sikap hidup utama pun luruh dan terkikis habis karena tertipu dengan pesona dunia. Kejujuran digadaikan. Idealisme ditukar murah dengan kursi, materi, dan kesenangan indera yang diraih dengan jalan pintas. Perangai berubah drastis dari sosok-sosok yang tulus hati dan tawadhu yang menjadi para pencari pamrih dalam pakaian diri serba angkuh, pemarah, ambisius, dan terjangkit virus apologia. Begitulah ketika pesona dan duniawi merangkeng hidup bani Adam. Dalam sangkar besi kehidupan dunia yang sarat gemerlap tidak sedikit manusia beriman akhirnya jatuh dalam kubangan kesalahan diri dan kolektif. Maksud meraih sukses dunia melampaui pihak lain, segala cara syubhat dan haram pun dilakukan. Nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan kepatutan diterabas tanpa rasa sungkan. Martabat atau kehormatan diri pun dibanting harga sehingga ketitik terendah, yang penting menang dalam meraih tujuan. Kaum beriman pun kehilangan kehormatan diri demi kejayaan hidup berlebih. Mata batinnya tumpul dan tidak lagi sensitif akan nilai-nilai kebajikan yang utama. Nasihat sekaligus kritik orang tak lagi mempan bahkan bebal ibarat pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu. Kian larut dalam permainan duniawi, semakin jauh dirinya dari yang bernilai hakiki, yang ada hasrat dan keasyikan mengejar kedigdayaan. Akhirnya, berlakulah titah Tuhan, " Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. " (QS at-Tin (95) : 5). Iman dan ilmu tinggi tidak lagi menjadi energi pencerahan hidup. Keberimanan pun berhenti sekedar menjadi aksesori keagaman.